Pergeseran Paradigma Pembangunan

Menurut Burn dan Phillipe (1987), ada tiga tingkatan yang memiliki  peranan proses pengembangan perkotaan. Pada tingkat makro pemerintah memiliki peranan yang penting dalam proses sosial dimasyarakat, menyangkut institusi dan formasi kultural berupa sistem konsep, aturan, nilai dan informasi yang merupakan milik bersama. Kondisi pada tingkat makro ini akan mengantarkan pada tingkat meso yaitu berupa latar (setting) interaksi dari stake holdernya untuk melakukan aksi dan interaksi sosial. Proses sosial pada tingkat menengah  ini akan mengatarkan pada proses tingkat mikro  berkaitan dengan agen sosial yang menyangkut nilai serta preferensial.

Jonathan H Turner (dalam Dasgupta 2000) mengungkapkan pranata formal dari pemerintah dapat membentuk  pranata  informal di masyarakat. Nilai norma dan kepercayaan yang berkembang di masyarakat merupakan modal sosial dalam pembangunan masyarakat, yang akan membentuk pola hubungan sosial di masyarakat.

Pembangunan perkotaan sebagai proses sosial akan menyebabkan terjadinya perubahan sosial dan budaya di masyarakat. Pelly(1994) mengungkapkan  faktor yang menyebabkan perubahan sosial budaya dapat dibedakan atas dua faktor: pertama  bersumber dari masyarakat itu sendiri dan yang kedua bersumber dari lingkungan.

Untuk terwujudnya ruang  perkotaan yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan yang selaras dengan visi dan misi penataan ruang naional, pengembangan perkotaan hendaknya dilaksanan dengan pendekatan comunity based development, Sehingga masyarakat secara bersama dengan stake holder yang lain dapat ikut serta dalam pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dengan melibatkan partisipasi masyarakat sesuai dengan potensi dan sumber daya serta karakteristik masyarakat.

Britha Mikkelsen (2001) mengungkapkan, dalam berbagai kajian istilah partisipasi memiliki arti yang beragam, diantaranya :

  • partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan;
  • partisipasi adalah pemekaan (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan;
  • partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu;
  • partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarkat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar suaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial;
  • partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri;
  • partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka.

Secara konseptual partisipasi masyarakat merupakan alat dan tujuan pembangunan masyarakat. Sebagai alat dan sarana pembangunan partisipasi berfungsi penggerak dan pengarah proses perubahan sosial secara terencana dan demokratis dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang berasaskan  pemerataan keadilan sosial, pemerataan pelaksanaan serta hasil pembangunan, pemupukan harga diri dan kepercayaan kepada kemampuan masyarakat itu sendiri serta pemupukan rasa kesadaran dan solidaritas sosial. Sebagai tujuan, partisipasi sosial merupakan perwujudan kehidupan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan sosial.

Sementara itu, dua alternatif utama dalam penggunan partisipasi berkisar kepada partisipasi sebagai tujuan pada dirinya sendiri, atau sebagai alat untuk mengembangkan diri. Logikanya, kedua interprestasi itu merupakan satu kesatuan, suatu rangkaian. Keduanya mewakili partisipasi yang bersifat tranformasional dan instrumental dalam suatu proyek tertentu.

Partisipasi sebagai suatu tujuan menghasilkan pemberdayaan, yakni setiap orang berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Dengan demikian partisipasi adalah alat dalam memajukan idiologi atau tujuan-tujuan pembangunan yang normatif, seperti keadilan sosial, persamaan, dan demokrasi. Dalam bentuk alternatif partisipasi ditafsirkan sebagai alat untuk mencapai efesiensi dalam manajemen proyek sebagai alat dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan.

Partisipasi transformasional terjadi ketika partisipasi itu pada dirinya sendiri dipandang sebagai tujuan, dan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi, misalnya jadi swadaya dan dapat berkelanjutan. Dalam memahami partisipasi partisipatoris ini perlu ditinjau pengertian partisipasi yang dikemukakan Lukman Sutrisno (1995). Terdapat dua pengertian partisipasi yang dikemukakannya. Pertama, adalah definisi yang diberikan oleh perencana pembangunan formal di Indonesia. Definisi partisipasi jenis ini mengartikan partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat terhadap rencana/proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh perencana. Definisi ini mempunyai motto yang berbunyi “masyarakat yang berpartisipasi tetapi pemerintah yang merencanakan”. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam definisi ini pun diukur dengan kemauan rakyat ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan pembangunan pemerintah.

Kedua, definisi partisipasi yang bersifat universal yaitu partisipasi   rakyat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Pengertian kedua inilah yang tampaknya selaras dengan semangat partisipasi transformatif tersebut.

Dari sudut pandang sosiologis, definisi pertama tidak dapat dikatakan sebagai partisipasi rakyat dalam pembangunan melainkan mobilisasi rakyat dalam pembangunan yang hanya mengatasi permasalahan pembangunan dalam jangka pendek. Lebih lanjut Lukman  Sutrisno (1995) mengungkapkan empat prasyarat pembangunan yang partisipatif (partisipasi yang transformatif), yaitu:

  1. Mendorong timbunya pemikiran kreatif, baik di kalangan masyarakat maupun pelaksana pembangunan
  2. Toleransi yang besar tehadap kritik yang datang dari bawah dengan mengembangkan sikap positif thinking di antara aparat pelaksana.
  3. Menimbulkan budaya dikalangan pengelola pemerintahan  untuk berani mengakui atas kesalahan yang mereka buat dalam merencanakan pembangunan
  4. Menimbulkan kemampuan untuk merancang atas skenrio, dan yang terakhir menciptakan sistem evaluasi proyek pembangunan yang mengarah pada terciptanya kemampuan rakyat untuk secara mandiri mencari permasalahan pelaksanaan pembangunan dan pemecahan terhadap permasalahan itu sendiri.

Selaras dengan Lukman Sutrisno, Korten (1992) dalam Hary Hikmat (2001) mengungkapkan ada tiga dasar perubahan sturktural normatif dalam pembangunan partisipatif yang berpusat pada rakyat, yaitu:

  1. Memusatkan pemikiran dan tindakan kebijakan pemerintah pada penciptaan keadaan yang mendorong dan mendukung usaha rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri pada tingkat individual, keluarga dan komunitas
  2. Mengembangkan struktur dan proses organisasi yang berfungsi menurut kaidah-kaidah sistem swaorganisasi
  3. Mengembangkan sistem-sistem produksi dan konsumsi yang diorganisasi secaa teritorial yang berlandaskan pada kaidah-kaidah pemilikan dan pengendalian lokal.

Prinsip pembangunan yang berpusat pada rakyat menegaskan bahwa masyarakat harus menjadi pelaku utama (aktor) dalam setiap proses pembangunan. Hal ini berimplikasi pada perlunya restrukturisasi sistem pembangunan sosial, baik pada tingkat mikro, meso, dan makro, sehingga masyarakat tingkat lokal (tingkat mikro) dapat ikut terlibat dalam setiap proses pembangunan sehingga dapat mencipatakan ruang kota yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri.

Manajemen Kota

Manajemen Perkotaan (Urban Management) : Secara Umum dapat didefinisikan adalah suatu upaya proses pelaksanaan rencanakotauntuk mencapai sasaran pembangunankotasecara efisien dan efektif.

Dalam proses upaya ini tentu juga menginginkan adanya optimalisasi pencapaian tujuan dengan melalui tahapan yang tepat dan dilakukan secara terpadu.

Disadari bahwa pengelolaan suatu wilayah perkotaan sangat rumit dan kompleks, serta melibatkan banyak sektor, bidang dan stakeholder, namun secara umum Bidang pengelolaan perkotaan dapat dibagi menjadi 2 bidang yaitu, Bidang Fisik dan Bidang Non Fisik.

Yang dimaksud dengan bidang Fisik adalah segala sesuatu sumberdaya pengelolaan infrastruktur kota termasuk upaya konservasi sumberdaya alam yang berpengaruh pada pembangunan kota, sedangkan bidang Non Fisik adalah semua yang berkaitan dengan pengembangan kualitas sumberdaya manusia dan kemasyarakatan, kelembagaan, perekonomian kota dan sistem pengawasan serta pengendalian pembangunan kota.

Pada intinya pengertian manajemenkotaadalah suatu upaya pengelolaan pembangunankotayang berkelanjutan yang dilakukan dengan sistem dan strategi yang terintegrasi, holistik dan komprehensif sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran sesuai dengan rencana dan tahapan yang ditetapkan dan pada akhirnya akan mensejahterakan pendudukkota.

Menurut SK Mendagri No. 65 tahun 1995. Manajemen perkotaan adalah pengelolaan sumber daya perkotaan yang berkaitan dengan bidang-bidang tata ruang, lahan, ekonomi, keuangan, lingkungan hidup, pelayanan jasa, investasi, prasarana dan sarana perkotaan; serta disebutkan pula bahwa pengelola perkotaan adalah para pejabat (Pemerintah) pengelola perkotaan. Dengan demikian, menurut apa yang secara formal didefinisikan oleh Pemerintah, manajemen perkotaan meliputi hal yang cukup luas, dan nampak menekankan pada aspek perkembangankotadan perkembangan ekonomikota.

Manajemen perkotaan meliputi pula kesejahteraan wargakotadalam arti yang luas. Atas dasar ini fungsi-fungsi yang dilaksanakan oleh manajemen perkotaan biasanya meliputi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan perkembangankota, pembangunan infrastruktur, penyediaan pelayanan perkotaan, penciptaan lapangan pekerjaan dan pelayanan-pelayanan sosial, regulasi aktifitas/perilaku masyarakat umum. Disini peran pemerintah sangat besar dalam manajemen suatukota. Pemerintah berperan untuk mengkoordinasikan pihak-pihak yang terkait dan mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mewujudkan tujuan suatu organisasi perkotaan.

Pengembangan Perkotaan Dalam Prespektif Kreativias Kota

Paat ini, dapat dikatakan bahwa hampir setengah dari populasi warga dunia kini hidup di lingkungan perkotaan, hal tersebut yang kemudian menjadi sumber permasalahan di perkotaan. Populasi yang tinggi di lingkungan perkotaan berdampak pada pembangunan yang tidak terkendali dan cenderung tidak terstruktur.Oleh karena itu, peran yang makin penting dan strategis dari kawasan perkotaan secara nasional perlu diimbangi dengan pengendaliannya. Upaya pengendalian ini perlu diatur secara jelas dan tegas serta dilaksanakan secara konsisten oleh semua pihak sehingga pembangunan perkotaan mampu mendukung pembangunan perkotaan nasional, dan bukan memperlemahnya (bersifat kontraproduktif terhadap pembangunan perkotaan nasional).

Gagasan mengenai Pengembangan Perkotaan dalam Prespektif Kreativias Kota perlu di kedepankan oleh Pemerintah sebagai salah satu konsep penanganan pembangunan perkotaan di Indonesia. Nilai utama dari gagasan diatas adalah menjadikan suatu kota yang mampu mengelola keberagaman secara interaktif sehingga semua warganya selalu produktif “mencipta” dalam semua bidang dan tingkatan, dari nilai-nilai sampai produk material.Pada akhirnya, kota-kota yang sudah sadar untuk “mengkreatifkan diri” mampu bersikap lebih toleran, dapat lebih jelas dan pasti dalam mengembangkan industri kreatif mereka, dan memperlakukan ruang (penggunaan lahan) dengan lebih arif, yaitu memberi ruang kreatif di kantong-kantong kreatif kota mereka yang berujung pada pertumbuhan ekonomi.Manfaat lain yang dapat dinikmati bila gagasan tersebut diatas terealisasi pada kota-kota di Indonesia adalah: a). membangun citra dan indentitas Lokal; b). memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan; c). menciptakan iklim bisnis yang positif; d). menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif; e). memberikan dampak sosial yang positif.

MENDEFINISIKAN KOTA KREATIF

Menurut teori ekonomi kreatif Richard Florida, saat ini masyarakat dunia memasuki transformasi besar dalam ekonomi, yaitu ekonomi kreatif. Karena itu, kota, kabupaten, atau provinsi tidak cukup hanya mengandalkan insentif ekonomi bila ingin menarik investasi di wilayah mereka. Itu berarti kota-kota harus lebih menumbuhkan ”iklim orang-orang” daripada iklim bisnis (The Rise of Creative Class, Richard Florida, Basic Books, 2004). Dengan demikian, membangun apa-apa yang diperlukan untuk mendukung kreativitas di semua lini dan membangun komunitas-komunitas yang dapat menarik orang-orang kreatif.

Dalam buku The Creative City: A Toolkit for Urban Innovators, Charles Landry mengatakan, creative city adalah sebuah tempat di mana orang merasakan, bahwa mereka bisa berpikir bertindak, berencana dengan imajinasi. Sebuah kondisi di mana ada perbedaan kepemimpinan, komunitas publik, dan swasta tapi tetap memberikan perasaan pada masyarakat bahwa ada sebuah sikap atau budaya “ya” untuk kehidupan. Budaya toleransi pada perbedaan, toleransi pada perubahan, dan pada banyak hal sehingga semua orang bisa berkembang dan mengembangkan diri.

Kota yang kreatif adalah kota yang mampu menanamkan budaya dan memberikan inspirasi ‘kreatif’ di masyarakat, dan usaha tersebut dapat menunjang upaya ’ekonomi kreatif’. Kemudian, ‘Kreatif’ itu sendiri merupakan sebuah proses, tidak bisa muncul begitu saja secara instan, dan proses kreatif itu sendiri bisa dari cara melihat, cara berfikir, dan cara bertindak. Sedangkan untuk membentuk brand kota yang kreatif, bisa dimulai dengan cara mengidentifikasi dan mengenali ciri khas kota tersebut, tidak  meniru dari kota lain, karena apa yang sukses di sebuah kota, belum tentu cocok dan pas untuk diterapkan di kota lainnya.

TRANFORMASI PERKOTAAN YANG KREATIF

Issu transformasi perkotaan kreatif :

a)     Kerangka kebijakan pemerintah kota dapat mendorong kreativitas dan inovasi.

Keterlibatan pemerintah kota dan provinsi menjadi penting karena pemerintah kota memiliki sumber daya kebijakan dan dana untuk menjadikan kota menarik dan memunculkan orang kreatif dan berbakat.  Kebijakan-kebijakan insentif seperti bahan baku, persaingan usaha, teknologi dan proses produksi, distribusi, ekspor impor serta HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) diperlukan untuk memfasilitasi perkembangan industri kreatif.

Pembentukan forum, informasi dan media bersama di ruang publik serta penyediaan kawasan bagi pengembangan industri kreatif merupakan bagian dari kebijakan pendukung dan program pemerintah kota dalam mewujudkan kota kreatif. Selain itu, adopsi kebijakan dapat menjadi alternatif program pemerintah kota dalam membuat kerangka kebijakan. Belajar dari pengalaman kota kreatif seperti Finlandia dalam pembentukan sistem jaringan pengaman sosial dan kebijakan pajak. Kebijakan pajak yang tinggi dimanfaatkan untuk pengembangan sistem pendidikan yang berkualitas dan jaminan pendidikan bagi warga. Jaminan ini merupakan program untuk mempersiapkan sumberdaya manusia yang memiliki bekal pengetahuan dan mampu berkompetisi. Pada tahun 2003 Finlandia dinobatkan sebagai negara paling kompetitif di dunia. Begitupula dengan Malaysia yang merapkan kebijakan pemotongan pajak bagi pengusaha-pengusaha yang mengembangkan budaya bangsa seperti batik, kain songket dan tenun.

b)     Yang terpenting dalam pengembangan era kreatif bergantung pada budaya organisasi kota dan kapasitas untuk menjadi kreatif dan inovatif

Budaya yang kuat merupakan kunci kesuksesan sebuah organisasi. Budaya organisasi mengandung nilai-nilai yang harus dipahami, dijiwai, dan dipraktikkan bersama oleh semua individu/kelompok yang terlibat didalamnya. Budaya organisasi yang berfungsi secara baik mampu untuk mengatasi permasalahan adaptasi eksternal dan integrasi internal. (Dharma, 2004). Menurut Wallach (1983) dan Hood and Koberg (1992) terdapat tiga budaya organisasi, yaitu budaya birokrasi, inovatif, dan suportif.

c)      Hubungan antara faktor teknologi , ekonomi, sosial dan lingkungan pada satu sisi , dan budaya kreatif inovatif di sisi yang lain

Kreativitas mempunyai tiga karakter dasar yang masing-masing sangat bergantung kepada teknologi. Karakteristik kreativitas itu meliputi bidang kerja berbeda, yaitu:

  • Kreativitas artistik (juga disebut artistik kultural) melibatkan imajinasi dan kemampuan untuk mengekspresikan gagasan asli (ide orisinil) dan cara-cara yang baru (asing, aneh, istimewa) dalam menerjemahkan atau menafsirkan dunia, baik hal itu diekspresikan dalam bentuk teks, suara atau citra (image);
  • kreativitas keilmuan melibatkan rasa keingintahuan dan kemauan untuk melakukan percobaan-percobaan, membuat hubungan-hubungan baru dalam memecahkan permasalahan; dan
  • kreativitas ekonomi , yaitu sebuah proses dinamis yang mengarah ke inovasi-inovasi dalam teknologi, praktik bisnis, pemasaran, dlsbnya.

d)     Untuk jangka panjang dibutuhkan perubahan yang kreatif, melalui pengembangan perusahaan ekonomi pada berbagai level di perkotaan

e)     Adanya keterampilan baru kota berdampak pada kemandirian dan keseimbangan kreativitas eksternal dan internal

FONDASI UNTUK PERKOTAAN KREATIF

Indikator Kota Kreatif

  1. Kualitas personal : Personal dengan kapabilitas, integritas, dan kreativitas yang berkualitas akan dengan mudah baginya memahami realitas pembangunan yang dihadapi. Selain itu, faktor kualitas personal juga bisa memacu pertumbuhan ekonomi perkotaan.
  2. Kepemimpinan : Sikap Kepemimpinan mampu mengakomondasi semua potensi dan permasalahan yang ada sebagai modal utama dalam pembangunan perkotaan, serta mampu menggerakan dan menumbuhkan kesadaran masyarakat
  3. Keragaman manusia dan bakat yang bervariasi : Mengembangkan kebebasan berfikir, ekpresi kreativitas dan gagasan untuk meningkatkan peran SDM dalam pembangunan
  4. Budaya organisasi : Cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi, dengan membawa suatu identitas sendiri
  5. Identitas Lokal : Kondisi atau fakta yang menggambarkan tentang ciri khas dari suatu daerah yang dapat dijadikan sebagai salah satu modal pembangunan
  6. Ruang perkotaan dan fasilitas : Ketersediaan ruang perkotaan dan kelengkapan fasilitasnya dapat mendorong SDM untuk membangun perkotaan yang kreatif
  7. Dinamika Jejaring/ Kerjasama/ Kemitraan : Perkembangan pola jejaring/ kerjasama/ kemitraan yang menginspirasi ide kreatif bersama dalam pembangunan perkotaan.

 

PENGEMBANGAN KOTA KREATIF

Kota kreatif, ruang kreatif, industri kreatif, ekonomi kreatif inilah yang kini sedang tren, setidaknya 10 tahun belakangan ini, di kota-kota di seluruh dunia. Kreativitas yang berbasis budaya dan komoditas lokal, karena budaya dan nilai-nilai budaya merupakan aset dan penggerak bagi sebuah kota untuk menjadi lebih imajinatif. Sumber-sumber budaya merupakan bahan mentah yang menggulirkan proses kreatif sehingga kebijakan publik tentang apapun hendaknya menggunakan pendekatan budaya. (Charles Landry: The Creative City: A Toolkit For Urban Innovators)

Dalam konteks peradaban baru, yaitu peradaban berbasis ide atau kreativitas, keberadaan ruang-ruang publik (fisik dan dialog) sering terlupakan. Kreativitas masyarakat akan tumbuh dengan adanya ruang publik baik itu sarana dan Ruang Terbuka Hijau untuk komunikasi publik maupun perayaan kebudayaan. Dengan adanya ruang publik tersebut maka akan terbentuk pula komunitas lokal yang mewadahi aspirasi lintas komunitas kreatif yang ingin meninggikan hajat hidup dan memperbaiki kota melalui ide-ide kreatif berbasis kolaborasi.

Kota kreatif dimana manusia hidup di dalamnya. Manusia dengan kepandaian, hasrat, motivasi, imajinasi, dan kreativitas dan menjadikannya sumber daya perkotaan. Pada ujungnya, semua ini mengarah pada pertumbuhan ekonomi lokal (nilai tambah ekonomi lokal). Ekonomi lokal yang berkembang melalui sistem ekonomi kerakyatan dengan mengedepankan potensi-potensi unggulan berbasis budaya lokal.

Kota kreatif perlu dikembangkan karena dapat :

  • Membangun Citra dan Identitas Lokal.
  • Memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan.
  • Menciptakan iklim bisnis yang positif.
  • Berbasis kepada sumber daya yang terbarukan.
  • Menciptakan inovasi & kreatifitas yg merupakan keunggulan kompetitif.
  • Memberikan dampak sosial yang positif.

Landasan Hukum Pengembangan Perkotaan

Visi

Terwujudnyakotayang layak huni, berkeadilan, mandiri, dan berdaya saing secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat perkotaan, sesuai dengan karakter potensi dan budaya lokal pada tahun 2025.

Misi

Meningkatkan pemerataan pembangunan kota-kota sesuai fungsinya dalam sistem perkotaan nasional

Meningkatkan pengembangan ekonomikotayang produktif, atraktif, dan efisien, dengan memanfaatkan potensi unggulan dan daya dukung sumber daya

Mengembangkan sarana dan prasarana perkotaan yang memenuhi Standar Pelayanan Perkotaan (SPP) serta mengedepankan pembangunan sosial dan budaya masyarakat

Meningkatkan kualitas tata ruangkotayang memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta menjamin daya tahankotaterhadap ancaman bencana dan dampak perubahan iklim

Meningkatkan kualitas penyelenggaraan tata kelola pemerintahankotayang transparan, akuntabel, dan partisipatif.

Sasaran Pembangunan Kota-kota di Indonesia

  • Terlaksananya sinkronisasi dan terpenuhinya SPP dan SPM sektor di perkotaan
  • Terwujudnya kota kecil dan menengah yang dapat menjadi pusat pertumbuhan bagi wilayah sekitarnya dan meningkatkan keterkaitan desa-kota
  • Terwujudnya kota besar dan metropolitan yang berdaya saing di tingkat nasional dan internasional

Kebijakan KSPN

  • Penguatan perankotasebagai basis pembangunan nasional dan menjamin pemenuhan kesejahteraan warga
  • Pemerataan pembangunankota, dengan konsentrasi pada beberapa pusat pertumbuhan tertentu
  • Mengedepankan aspek sosial budaya
  • Pengembangan ekonomi lokal
  • Pemenuhan Prasarana Sarana Utilitas Permukiman
  • Pengendalian tata ruang dan pertanahan
  • Pengendalian kualitas lingkungan, mitigasi resiko bencana dan kesiapan menghadapi dampak perubahan iklim
  • Tata kelola dan kelembagaan

Teori-teori Perkembangan Kota

A. TEORI KONSENTRIS (THE CONSENTRIC THEORY)

Teori ini dikemukakan oleh E.W. Burgess (Yunus, 1999), atas dasar tudy kasusnya mengenai morfologi kota Chicago, menurutnya sesuat kota yang besar mempunyai kecenderungan berkembang ke arah luar di semua bagian-bagiannya. Masing-masing zona tumbuh sedikit demi sedikit ke arah luar. Oleh karena semua bagian-bagiannya berkembang ke segala arah, maka pola keruangan yang dihasilkan akan  berbentuk seperti lingkaran yang berlapis-lapis, dengan daerah pusat kegiatan sebagai intinya.

Secara berurutan, tata ruang kota yang ada pada suatu kota yang mengikuti suatu pola konsentris ini adalah sebagai berikut:

a.   Daerah Pusat atau Kawasan Pusat Bisnis (KPB). 

Daerah pusat kegiatan ini sering disebut sebagai pusat kota. Dalam daerah ini terdapat bangunan-bangunan utama untuk melakukan kegiatan baik sosial, ekonomi, poitik dan budaya. Contohnya : Daerah pertokoan, perkantoran, gedung kesenian, bank dan lainnya.

b.   Daerah Peralihan.

Daerah ini kebanyakan di huni oleh golongan penduduk kurang mampu dalam kehidupan sosial-ekonominya. Penduduk ini sebagian besar terdiri dari pendatang-pendatang yang tidak stabil (musiman), terutama ditinjau dari tempat tinggalnya. Di beberapa tempat pada daerah ini terdapat kegiatan industri ringan, sebagai perluasan dari KPB.

c.   Daerah Pabrik dan Perumahan Pekerja.

Daerah ini di huni oleh pekerja-pekerja pabrik yang ada di daerah ini. Kondisi perumahannya sedikit lebih buruk daripada daerah peralihan, hal ini disebabkan karena kebanyakan pekerja-pekerja yang tinggal di sini adalah dari golongan pekerja kelas rendah.

d.   Daerah Perumahan yang Lebih Baik Kondisinya.

Daerah ini dihuni oleh penduduk yang lebih stabil keadaannya dibanding dengan penduduk yang menghuni daerah yang disebut sebelumnya, baik ditinjau dari pemukimannya maupun dari perekonomiannya.

e.    Daerah Penglaju.

Daerah ini mempunyai tipe kehidupan yang dipengaruhi oleh pola hidup daerah pedesaan disekitarnya. Sebagian menunjukkan ciri-ciri kehidupan perkotaan dan sebagian yang lain menunjukkan ciri-ciri kehidupan pedesaan, Kebanyakan penduduknya mempunyai lapangan pekerjaan nonagraris dan merupakan pekerja-pekerja penglaju yang bekerja di dalam kota, sebagian penduduk yang lain adalah penduduk yang bekerja di bidang pertanian.

B.    TEORI SEKTOR

Teori sector ini dikemukakan oleh Homer Hoyt (Yunus, 1991 & 1999), dinyatakan bahwa perkembangan-perkembangan baru yang terjadi di dalam suatu kota, berangsur-angsur menghasilkan kembali karakter yang dipunyai oleh sector-sektor yang sama terlebih dahulu. Alasan ini terutama didasarkan pada adanya kenyataan bahwa di dalam kota-kota yang besar terdapat variasi sewa tanah atau sewa rumah yang besar. Belum tentu sesuatu tempat yang mempunyai jarak yang sama terhadap KPB akan mempunyai nilai sewa tanah atau rumah yang sama, atau belum tentu semakin jauh letak atau tempat terhadap KPB akan mempunyai nilai sewa yang semakin rendah. Kadang-kadang daerah tertentu dan bahkan sering terjadi bahwa daerah-daerah tertentu yang letaknya lebih dekat dengan KPB mempunyai nilai sewa tanah atau rumah yang lebih rendah daripada daerah yang lebih jauh dari KPB. Keadaan ini sangat banyak dipengaruhi oleh factor transportasi, komunikasi dan segala aspek-aspek yang lainnya.

  1. Pertumbuhan Vertikat, yaitu daerah ini dihuni oleh struktur keluarga tunggal dan semakin lama akan didiami oleh struktur keluarga ganda. Hal ini karena ada factor pembatas, yaitu : fisik, social, ekonomi dan politik.
  2. Pertumbuhan Memampat, yaitu apabila wilayah suatu kota masih cukup tersedia ruang-ruang kosong untuk bangunan tempat tinggal dan bangunan lainnya.
  3. Pertumbuhan Mendatar ke Arah Luar (Centrifugal), yaitu biasanya terjadi karena adanya kekurangan ruang bagi tempat tinggal dan kegiatan lainnya. Pertumbuhannya bersifat datar centrifugal, karena perembetan pertumbuhannya akan kelihatan nyata pada sepanjang rute transportasi. Pertumbuhan datar centrifugal ini dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
    1. Pertumbuhan Datas Aksial, pertumbuhan kota yang memanjang ini terutama dipengaruhi oleh adanya jalur transportasi yang menghubungkan KPB dengan daerah-daerah yang berada diluarnya.
    2. Pertumbuhan Datar Tematis, pertumbuhan lateral suatu kota tipe ini tidak mengikuti arah jalur transportasi yang ada, tetapi lebih banyak dilatarbelakangi oleh keadaan khusus, sebagai cintih yaitu dengan didirikannya beberapa pusat pendidikan, sehingga akan menarik penduduk untuk bertempat tinggal di daerah sekitarnya. Di lingkungan pusat kegiatan yang beru ii akan timbul suatu suasana perkotaan yang secara administrative mungkin terpisah dari kota yang ada. Oleh karena jarak antara pusast kegiatan yang baru dengan daerah perkotaan yang lama biasanya tidak terlalu jauh, maka pertumbuhan selanjutnya adalah pada pusat yang lama dengan pusat yang baru akan bergabung menjadi satu.
    3. Pertumbuhan Datar Kolesen, perkembangan lateral ketiga ini terjadi karena adanya gabungan dari perkembangan tipe satu dan dua. Sehubungan dengan adanya perkembangan yang terus-menerus dan bersifat datar pada kota (pusat kegiatan), maka mengakibatkan terjadinya penggabungan pusat-pusat tersebut satu kesatuan kegiatan.

Perumusan Kriteria Liveable Cities Yang Terdiri Dari 8 Variabel Dan 35 Kriteria Sebagai Berikut : (Symposium Iap 2008)

  1. Fisik Kota : Tata ruang, arsitektur, RTH, ciri dan karakter budaya lokal
  2. Kualitas Lingkungan : kebersihan kota dan tingkat pencemaran.
  3. Transportasi-Aksesibilitas : angkutan umum, kualitas jalan, waktu tempuh ke tempat aktivtas, pedestrian.
  4. Fasilitas : Fasilitas kesehatan, pendidikan, peribadatan, rekreasi, taman kota.
  5. Utilitas : Air bersih, listrik, telekomunikasi
  6. Ekonomi : tingkat pendapatan, biaya hidup, ramah investasi
  7. Sosial : Ruang publik, ruang kreatif, interaksi sosial, kriminalitas, tingkat kesetaraan warga kota, partisipasi warga, dukungan terhadap orang tua, penyandang cacat, dan wanita hamil.
  8. Birokrasi dan Pemerintahan : Leadership yang kuat, dukungan kebijakan, kepastian hukum, akuntabilitas pemerintah, tingkat penerapan rencana kota, dukungan program pembangunan, dukungan pembiayaan.

C.    TEORI PERTUMBUHAN KOTA

Menurut Spiro Kostof (1991), Kota adalah Leburan Dari bangunan dan penduduk, sedangkan bentuk kota pada awalnya adalah netral tetapi kemudian berubah sampai hal ini dipengaruhi dengan budaya yang tertentu. Bentuk kota ada dua macam yaitu geometri dan organik.Terdapat dikotomi bentuk perkotaan yang didasarkan pada bentuk geometri kota yaitu Planned dan Unplanned.

  • Bentuk Planned (terencana) dapat dijumpai pada kota-kota eropa abad pertengahan dengan pengaturan kota yang selalu regular dan rancangan bentuk geometrik.
  • Bentuk Unplanned (tidak terencana) banyak terjadi pada kota-kota metropolitan, dimana satu segmen kota berkembang secara sepontan dengan bermacam-macam kepentingan yang saling mengisi, sehingga akhirnya kota akan memiliki bentuk semaunya yang kemudian disebut dengan organik pattern, bentuk kota organik tersebut secara spontan, tidak terencana dan memiliki pola yang tidak teratur dan non geometrik.

Elemen-elemen pembentuk kota pada kota organik, oleh kostol dianalogikan secara biologis seperti organ tubuh manusia, yaitu :

1.        Square, open space sebagai paru-paru.

2.       Center, pusat kota sebagai jantung yang memompa darah (traffic).

3.     Jaringan jalan sebagai saluran arteri darah dalam tubuh.

4.     Kegiatan ekonomi kota sebagai sel yang berfikir.

5.     Bank, pelabuhan, kawasan industri sebagai jaringan khusus dalam tubuh.

6.     Unsur kapital (keuangan dan bangunan) sebagai energi yang mengalir ke seluruh sistem perkotaan.

Dalam suatu kota organik, terjadi saling ketergantungan antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Contohnya : jalan-jalan dan lorong-lorong menjadi ruang komunal dan ruang publik yang tidak teratur tetapi menunjukkan adanya kontak sosial dan saling menyesuaikan diri antara penduduk asli dan pendatang, antara kepentingan individu dan kepentingan umum. Perubahan demi perubahan fisik dan non fisik (sosial) terjadi secara sepontan. Apabila salah satu elemnya terganggu maka seluruh lingkungan akan terganggu juga, sehingga akan mencari keseimbangan baru. Demikian ini terjadi secara berulang-ulang.

Menurut Kevin Lynch (1981), definisi model organik atau kota biologis adalah kota yang terlihat sebagai tempat tinggal yang hidup, memiliki ciri-ciri kehidupan yang membedakannya dari sekedar mesin, mengatur diri sendiri dan dibatasi oleh ukuran dan batas yang optimal, struktur internal dan perilaku yang khas, perubahannya tidak dapat dihindari untuk mempertahankan keseimbangan yang ada, menurutnya bentuk fisik organik :

  • Membentuk pola radial dengan unit terbatas.
  • Memiliki focused centre.
  • Memiliki lay out non geometrik atau cenderung romantis dengan pola yang membentuk lengkung tak beraturan.
  • Material alami.
  • Kepadatan sedang sampai rendah.
  • Dekat dengan alam

Di dalam model organik ini, organisasi ruang telah membentuk kesatuan yang terdiri dari unit-unit yang memiliki fungsi masing-masing. Kota terbentuk organik mudah untuk mengalami penurunan kualitas karena perkembangannya yang spontan, tidak terencana dan sepotong-sepotong. Masyarakat penghuni kota ini bermacam-macam yang merupakan percampuran antara berbagai macam manusia dalam suatu tempat yang memiliki keseimbangan. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda, saling menyimpang tetapi juga saling mendukung satu sama lain. Kota organik memiliki ciri khas pada kerjasama pemeliharan lingkungan sosial oleh masyarakat.

D.    TEORI TEORI PERTUMBUHAN KOTA

Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan perubahan suatu kawasan dan sekitarnya sebagai bagian dari suatu kawasan perkotaan yang lebih luas, menurut Gallion dalam buku ¨The Urban Pattern¨ disebutkan bahwa perubahan suatu kawasan dan sebagian kota dipengaruhi letak geografis suatu kota. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perubahan akibat pertumbuhan daerah di kota tersebut, apabila terletak di daerah pantai yang landai, pada jaringan transportasi dan jaringan hubungan antar kota, maka kota akan cepat tumbuh sehingga beberapa elemen kawasan kota akan cepat berubah.
Dalam proses perubahan yang menimbulkan distorsi (mengingat skala perubahan cukup besar) dalam lingkungan termasuk didalamnya perubahan penggunaan lahan secara organik, terdapat beberapa hal yang bisa diamati yaitu :

1. Pertumbuhan terjadi satu demi satu, sedikit demi sedikit atau terus menerus.

2. Pertumbuhan yang terjadi tidak dapat diduga dan tidak dapat diketahui kapan dimulai dan kapan akan berakhir, hal ini tergantung dari kekuatan-kekuatan yang melatar belakanginya.

3. Proses perubahan lahan yang terjadi bukan merupakan proses segmental yang berlangsung tahap demi tahap, tetapi merupakan proses yang komprehensif dan berkesinambungan.

4. Perubahan yang terjadi mempunyai kaitan erat dengan emosional (sistem nilai) yang ada dalam populasi pendukung.

5. Faktor-faktor penyebab perubahan lainya adalah vision (kesan), optimalnya kawasan, penataan yang maksimal pada kawasan dengn fungsi-fungsi yang mendukung, penggunaan struktur yang sesuai pada bangunan serta komposisi tapak pada kawasan. (Cristoper Alexander, A New Theory Of Urban Design, 1987, 14:32-99).

Uraian diatas sesuai dengan kondisi kawasan penelitian yang berada di kawasan bencana alam, yaitu adanya perubahan pola tata ruang lingkungan permukiman (kampung kota) mengarah kepada tatanan kawasan mitigasi bencana alam yang nantinya melalui tahapan proses terus menerus yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan manusianya.

Dalam kaitanya dengan kota dan arsitektur, morfologi memiliki dua aspek yaitu aspek diakronik yang berkaitan dengan perubahan ide dalam sejarah dan aspek sinkronik yaitu hubungan antar bagian dalam kurun waktu tertentu yang dihubungkan dengan aspek lain. Aspek metamorfosis adalah sejarah individual dari bangunan dan kota, kesemuanya harus dilakukan dalam analisis morfologi.

Karya arsitektur merupakan salah satu refleksi dan perwujudan kehidupan dasar masyarakat menurut makna yang dapat dikomunikasikan (Rapoport, 1969). Keseragaman dan keberagaman sebagai ungkapan perwujudan fisik yang terbentuk yaitu citra dalam arti identitas akan memberikan makna sebagai pembentuk citra suatu tempat (place).

Ada tiga komponen struktural yang dapat dikaji (Schultz, 1984) :
„X Tipologi : menyangkut tatanan sosial (sosial order) dan pengorganisasian ruang (spatial organization) yang dalam hal ini menyangkut ruang (space) berkaitan dengan tempat yang abstrak.
„X Morfologi : menyangkut kualitas spasial figural dan konteks wujud pembentuk ruang yang dapat dibaca melalui pola, hirarki, dan hubungan ruang satu dengan yang lainya.

Tipologi lebih menekankan pada konsep dan konsistensi yang dapat memudahkan masyarakat mengenai bagian-bagian arsitektur. Morfologi lebih menekankan pada pembahasan bentuk geometris, sehingga untuk memberi makna pada ungkapan ruang harus dikaitkan dengan nilai ruang tertentu, nilai ruang sangat berkaitan dengan organisasi ruang, hubungan ruang dan bentuk ruang, perwujudan spasial fisik merupakan produk kolektif perilaku budaya masyarakat serta pengaruh ¨kekuasaan¨ tertentu yang melatarbelakanginya.

Karakteristik suatu tempat dalam hal ini penggunaan suatu lingkungan binaan tertentu bukan hanya sekedar mewadahi kegiatan fungsional secara statis, melainkan menyerap dan menghasilkan makna berbagai kekhasan suatu tempat antara lain setting fisik bangunan, komposisi dan konfigurasi bangunan dengan ruang publik serta kehidupan masyarakat setempat.

Perubahan morfologi tidak lepas dari pendukung kegiatan (activity support) karena adanya keterkaitan antara fasilitas ruang-ruang umum kawasan dengan seluruh kegiatan yang menyangkut penggunaan ruang yang menunjang keberadaan ruang-ruang umum. Kegiatan dan ruang-ruang umum merupakan hal yang saling mengisi dan melengkapi, keberadaan pendukung kegiatan mulai muncul dan tumbuh, bila berada diantara dua kutub kegiatan yang ada di kawasan tersebut keberadaan pendukung kegiatan tidak lepas dari tumbuhnya fungsi kegiatan publik yang mendominasi penggunaan ruang kawasan, semakin dekat dengan pusat kegiatan semaking tinggi intensitas dan keberagaman kegiatan.

E.   ELEMEN-ELEMEN FISIK KOTA

Dalam desain perkotaan (Shirvani, 1985) terdapat elemen-elemen fisik Urban Design yang bersifat ekspresif dan suportif yang mendukung terbentuknya struktur visual kota serta terciptanya citra lingkungan yang dapat pula ditemukan pada lingkungan di lokasi penelitian, elemen-elemen tersebut adalah :

a.    Tata Guna Tanah

Tata guna lahan dua dimensi menentukan ruang tiga dimensi yang terbentuk, tata guna lahan perlu mempertimbangkan dua hal yaitu pertimbangan umum dan pertimbangan pejalan kaki (street level) yang akan menciptakan ruang yang manusiawi.

Peruntukan lahan suatu tempat secara langsung disesuaikan dengan masalah-masalah yang terkait, bagaimana seharusnya daerah zona dikembangkan, Shirvany mengatakan bahwa zoning ordinace merupakan suatu mekanisme pengendalian yang praktis dan bermanfaat dalam urban design, penekanan utama terletak pada masalah tiga dimensi yaitu hubungan keserasin antar bangunan dan kualitas lingkungan.

Jika kita melihat dilokasi penelitian bisa dilihat dari zona mitigasi tiap-tiap wilayah kaitanya dalam menyiapkan daerah yang masuk dalam wilayah bencana alam siap menghadapinya dan juga membentuk kualitas hidup lingkungan dan bersifat kawasan yang manusiawi.

b.    Bentuk dan Massa Bangunan

Menyangkut aspek-aspek bentuk fisik karena setting, spesifik yang meliputi ketinggian, besaran, floor area ratio, koefisien dasar bangunan, pemunduran (setback) dari garis jalan, style bangunan, skala proporsi, bahan, tekstur dan warna agar menghasilkan bangunan yang berhubungan secara harmonis dengan bangunan-bangunan lain disekitarnya.

Prinsip-prinsip dan teknik Urban Design yang berkaitan dengan bentuk dan massa bangunan meliputi :

1.    Scale, berkaitan dengan sudut pandang manusia, sirkulasi dan dimensi bangunan sekitar.

2.     Urban Space, sirkulasi ruang yang disebabkan bentuk kota, batas dan tipe-tipe ruang.

3.     Urban Mass, meliputi bangunan, permukaan tanah dan obyek dalam ruang yang dapat tersusun untuk membentuk urban space dan pola aktifitas dalam skala besar dan kecil.

c.     SIRKULASI DAN PARKIR

Elemen sirkulasi adalah satu aspek yang kuat dalam membentuk struktur lingkungan perkotaan, tiga prinsip utama pengaturan teknik sirkulasi adalah :

1.   Jalan harus menjadi elemen ruang terbuka yang memiliki dampak visual yang positif.

2.      Jalan harus dapat memberikan orientasi kepada pengemudi dan membuat lingkungan menjadi jelas terbaca.

3.     Sektor publik harus terpadu dan saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.

d.     RUANG TERBUKA

Ian C. Laurit mengelompokkan ruang terbuka sebagai berikut :

1.       Ruang terbuka sebagai sumber produksi.

2.      Ruang terbuka sebagai perlindungan terhadap kekayaan alam dan manusia (cagar alam, daerah budaya dan sejarah).

3.      Ruang terbuka untuk kesehatan, kesejahteraan dan kenyamanan.
Ruang terbuka memiliki fungsi :

1.      Menyediakan cahaya dan sirkulasi udara dalam bangunan terutama di pusat kota.

2.      Menghadirkan kesan perspektif dan visa pada pemandangan kota (urban scane) terutama dikawasan pusat kota yang padat.

3.      Menyediakan arena rekreasi dengan bentuk aktifitas khusus.

4.      Melindungi fungsi ekologi kawasan.

5.      Memberikan bentuk solid foid pada kawasan.

6.      Sebagai area cadangan untuk penggunaan dimasa depan (cadangan area pengembangan).

Aspek pengendalian ruang terbuka pusat kota sebagai aspek fisik, visual ruang, lingkage dan kepemilikan dipengaruhi beberapa faktor :

1.       Elemen pembentuk ruang, bagaimana ruang terbuka kota yang akan dikenakan (konteks tempat) tersebut didefinisikan (shape, jalan, plaza, pedestrian ways, elemen vertikal).

2.      Faktor tempat, bagaimana keterkaitan dengan sistem lingkage yang ada.

3.      Aktifitas utama.

4.      Faktor comfortabilitas, bagaimana keterkaitan dengan kuantitas (besaran ruang, jarak pencapaian) dan kualitas (estetika visual) ruang.

5.      Faktor keterkaitan antara private domain dan public domain.

e.            JALUR PEJALAN KAKI

Sistem pejalan kaki yang baik adalah :

1.       Mengurangi ketergantungan dari kendaraan bermotor dalam areal kota.

2.      Meningkatkan kualitas lingkungan dengan memprioritaskan skala manusia.

3.      Lebih mengekspresikan aktifitas PKL mampu menyajikan kualitas udara.

f.              ACTIVITY SUPPORT

Muncul oleh adanya keterkaitan antara fasilitas ruang-ruang umum kota dengan seluruh kegiatan yang menyangkut penggunaan ruang kota yang menunjang akan keberadaan ruang-ruang umum kota. Kegiatan-kegiatan dan ruang-ruang umum bersifat saling mengisi dan melengkapi.
Pada dasarnya activity support adalah :

1       Aktifitas yang mengarahkan pada kepentingan pergerakan (importment of movement).

2       Kehidupan kota dan kegembiraan (excitentent).

Keberadaan aktifitas pendukung tidak lepas dari tumbuhnya fungsi-fungsi kegiatan publik yang mendominasi penggunaan ruang-ruang umum kota, semakin dekat dengan pusat kota makin tinggi intensitas dan keberagamannya.

Bentuk actifity support adalah kegiatan penunjang yang menghubungkan dua atau lebih pusat kegiatan umum yang ada di kota, mislnya open space (taman kota, taman rekreasi, plaza, taman budaya, kawasan PKL, pedestrian ways dan sebagainya) dan juga bangunan yang diperuntukkan bagi kepentingan umum.

g.            Simbol Dan Tanda

Ukuran dan kualitas dari papan reklame diatur untuk :

1.       Menciptakan kesesuaian.

2.       Mengurangi dampak negatif visual.

3.      Dalam waktu bersamaan menghilangkan kebingungan serta persaingan dengan tanda lalu lintas atau tanda umum yang penting.

4.      Tanda yang didesain dengan baik menyumbangkan karakter pada fasade bangunan dan menghidupkan street space dan memberikan informasi bisnis.

5. Dalam urban design, preservasi harus diarahkan pada perlindungan permukiman yang ada dan urban place, sama seperti tempat atau bangunan sejarah, hal ini berarti pula mempertahankan kegiatan yang berlangsung di tempat itu.

F.             TEORI DESAIN SPASIAL KOTA

Menurut Tracik (1986) dalam suatu lingkungan permukiman ada rangkaian antara figure ground, linkage dan palce. Figure ground menekankan adanya public civics space atau open space pada kota sebagai figure.

Melalui figure ground plan dapat diketahui antara lain pola atau tipologi, konfigurasi solid void yang merupakan elemtal kawasan atau pattern kawasan penelitian, kualitas ruang luar sangat dipengaruhi oleh figure bangunan-bangunan yang melingkupinya, dimana tampak bangunan merupakan dinding ruang luar, oleh karena itu tata letak, bentuk dan fasade sistem bangunan harus berada dalam sistem ruang luar yang membentuknya. Komunikasi antara privat dan publik tercipta secara langsung. Ruang yang mengurung (enclosure) merupakan void yang paling dominan, berskala manusia (dalam lingkup sudut pandang mata 25-30 derajat) void adalah ruang luar yang berskala interior, dimana ruang tersebut seperti di dalam bangunan, sehingga ruang luar yang enclosure terasa seperti interior. Diperlukan keakraban antara bangunan sebagai private domain dan ruang luar sebagai public dominan yang menyatu.

Dalam ¨lingkage theory¨ sirkulasi merupakan penekanan pada hubungan pergerakan yang meruakan kontribusi yang sangat penting. Menurut Fumihiko Maki, Linkage secara sederhana adalah perekat, yaitu suatu kegiatan yang menyatukan seluruh lapisan aktivitas dan menghasilkan bentuk fisik kota, dalam teorinya dibedakan menjadi tiga tipe ruang kota formal, yaitu : Composition form, Megaform dan groupform. Teori linkage yang dapat diterapkan dalam kajian ini adalah group form yang merupakan ciri khas dari bentuk-bentuk spasial kota yang mempunyai kajian sejarah. Linkage ini tidak terbentuk secara langsung tetapi selalu dihubungkan dengan karakteristik fisik skala manusia, rentetan-rentetan space yang dipertegas oleh bangunan, dinding, pentu gerbang, dan juga jalan yang membentuk fasade suatu lingungan perkampungan. Linkage theory ini dapat digunakan sebagai alat untuk memberikan arahan dalam penataan suatu kawasan (lingkungan). Dalam konteks urban design, linkage menunjukkan hubungan pergerakan yang terjadi pada beberapa bagian zone makro dan mikro, dengan atau tanpa aspek keragaman fungsi yang berkaitan dengan fisik, historis, ekonomi, sosial, budaya dan politik (danarti Karsono, 1996).

Menurut Shirvani (1985), linkage menggambarkan keterkaitan elemen bentuk dan tatanan masa bangunan, dimana pengertian bentuk dan tatanan massa bangunan tersebut akan meningkatkan fungsi kehidupan dan makna dari tempat tersebut. Karena konfigurasi dan penampilan massa bangunan dapat membentuk, mengarahkan, menjadi orientasi yang mendukung elemen linkage tersebut.

Bila pada figure ground theory dan linkage theory ditekankan pada konfigurasi massa fisik , dalam place theory ditekankan bahwa integrasi kota tidak hanya terletak pada konfigurasi fisik morfologi, tetapi integrasi antara aspek fisik morfologi ruang dengan masyarakat atau manusia yang merupakan tujuan utama dari teori ini, melalui pandangan bahwa urban design pada dasarnya bertujuan untuk memberikan wadah kehidupan yang baik untuk penggunaan ruang kota baik publik maupun privat.

Pentingnya place theory dalam spasial design yaitu pemahaman tentang culture dan karakteristik suatu daerah yang ada menjadi ciri khas untuk digunakan sebagai salah satu pertimbangan agar penghuni (masyarakat) tidak merasa asing di dalam lingkungannya. Sebagaimana tempat mempunyai masa lalu (linkage history), tempat juga terus berkembang pada masa berikutnya. Artinya, nilai sejarah sangat penting dalam suatu kawasan kota. Aspek spesifik lingkungan menjadi indikator yang sangat penting dalam menggali potensi, mengatur tingkat perubahan serta kemungkinan pengembangan di masa datang, teori ini memberikan pengertian bahwa semakin penting nilai-nilai sosial dan budaya, dengan kaitan sejarah di dalam suatu ruang kota.

 G.            KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH PERKOTAAN

Kajian pengembangan wilayah perkotaan di Indonesia selama ini selalu didekati dari aspek sektoral dan aspek spasial. Pada kajian aspek sektoral lebih menyatakan ukuran dari aktifitas masyarakat suatu wilayah perkotaan dalam mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya. Sementara itu, kajian aspek spasial (keruangan) lebih menunjukkan arah dari kegiatan sektoral atau dimana lokasi serta dimana sebaiknya lokasi kegiatan sektoral tersebut.

Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut mendorong lahirnya konsep pengembanan wilayah perkotaan yang harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ruang sesuai daya dukung, mampu memberi kesempatan kepada sektor untuk berkembang tanpa konflik dan mampu meningkatkan kesejahteraan secara merata. Konsep tersebut digolongkan dalam konsep pengembangan wilayah perkotaan yang didasarkan pada penataan ruang.

Kaitan dengan perihal diatas, ada tiga kelompok konsep pengembangan wilayah yaitu konsep pusat pertumbuhan, konsep integrasi fungsional dan konsep pendekatan desentralisasi (Alkadri et all, Manajemen Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah, 1999). Konsep pusat pertumbuhan menekankan pada perlunya melakukan investasi secara besar-besaran pada suatu pusat pertumbuhan atau wilayah/kota yang telah mempunyai infrastruktur yang baik. Pengembangan wilayah di sekitar pusat pertumbuhan diharapkan melalui proses tetesan ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep ini di Indonesia telah melahirkan adanya 111 kawasan andalan dalam RTRWN.

Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan secara sengaja diantara berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu kota atau wilayah mempunyai hirarki sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota atau wilayah yang lain. Sedangkan konsep desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari sumberdana dan sumberdaya manusia.

Pendekatan tersebut mempunyai berbagai kelemahan. Dari kondisi ini muncullah beberapa konsep untuk menanggapi kelemahan tersebut. Konsep tersebut antara lain people center approach yang menekankan pada pembangunan sumberdaya manusia, natural resources-based development yang menekankan sumberdaya alam sebagai modal pembangunan, serta technology based development yang melihat teknologi sebagai kunci dari keberhasilan pembangunan wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa aplikasi konsep tersebut kurang berhasil dalam membawa kesejahteraan rakyat.

Fenomena persaingan antar wilayah, tren perdagangan global yang sering memaksa penerapan sistem outsourcing, kemajuan teknologi yang telah merubah dunia menjadi lebih dinamis, perubahan mendasar dalam sistem kemasyarakatan seperti demokratisasi, otonomi, keterbukaan dan meningkatnya kreatifitas masyarakat telah mendorong perubahan paradigma dalam pengembangan wilayah. Dengan semakin kompleksnya masalah tersebut dapat dibayangkan akan sangat sulit untuk mengelola pembangunan secara terpusat, seperti pada konsep-konsep yang dijelaskan di atas.

Pilihan yang tepat adalah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola pembangunan di wilayahnya sendiri. Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan tinggi dengan mengandalkan keunggulan komparatif berupa kekayaan alam berlimpah, upah murah atau yang dikenal dengan bubble economics, sudah usang karena terbukti tak tahan terhadap gelombang krisis. Walaupun teori keunggulan komparatif tersebut telah ber-metamorfose dari hanya memperhitungkan faktor produksi menjadi berkembangnya kebijaksanaan pemerintah dalam bidang fiskal dan moneter, ternyata daya saing tidak lagi terletak pada faktor tersebut (Alkadri etal, 1999).

Kenyataan menunjukkan bahwa daya saing dapat pula diperoleh dari kemampuan untuk melakukan perbaikan dan inovasi secara menerus. Menurut Porter (1990) dalam Tiga Pilar pengembangan Wilayah (1999) keunggulan komparatif telah dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Namun demikian, setiap wilayah masih mempunyai faktor keunggulan khusus yang bukan didasarkan pada biaya produksi yang murah saja, tetapi lebih dari itu, yakni adanya inovasi untuk pembaruan. Suatu wilayah dapat meraih keunggulan daya saing melalui empat hal yaitu keunggulan faktor produksi, keunggulan inovasi, kesejahteraan masyarakat, dan besarnya investasi.

Apabila dicermati maka paradigma pengembangan wilayah telah bergeser pada upaya yang mengandalkan tiga pilar yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi. Ketiga pilar tersebut merupakan elemen internal wilayah yang saling terkait dan berinteraksi membentuk satu sistem. Hasil interaksi elemen tersebut mencerminkan kinerja dari suatu wilayah. Kinerja tersebut akan berbeda dengan kinerja wilayah lainnya, sehingga mendorong terciptanya spesialisasi spesifik wilayah. Dengan demikian akan terjadi persaingan antar wilayah untuk menjadi pusat spatial network dari wilayah-wilayah lain secara nasional. Namun pendekatan ini mempunyai kelemahan yang antara lain apabila salah didalam mengelola spatial network tadi tidak mustahil menjadi awal dari proses disintegrasi. Untuk itu harus diterapkan konsep pareto pertumbuhan yang bisa mengendalikan keseimbangan pertumbuhan dan dikelola oleh Pemerintah Pusat. Konsep pareto ini diharapkan mampu memberikan keserasian pertumbuhan antar wilayah perkotaan dengan penerapan insentif-insentif kepada wilayah perkotaan yang kurang berkembang.

H.            INTERGRASI KAWASAN PERTUMBUHAN PERKOTAAN

Kawasan perkotaan di Indonesia tumbuh secara dinamis sejalan dengan dinamika perkembangan demografis, ekonomi dan fisik-spaial. Secara fisik kota tumbuh ekspansif  ke arah luar/pinggiran bahkan melampaui batas wilayah administasi Kota. Dikaitkan dengan keterbatasan daya dukung, terutama lahan dan sumber daya air, kebutuhan sarana-prasarana dasar perkotaan yang semakin meningkat menjadi persoalan yang semakin serius untuk ditangani. Ditinjau dari aspek spasial, struktur dan pola pemanfaatan ruang kota/kawasan perkotaan yang terbentuk cenderung bersifat ekspansif  dan  menunjukkan gejala urban sprawl yang semakin tidak terkendali, mengkonversi lahan-lahan pertanian subur dengan berbagai dampaknya. Hal ini jelas jauh berbeda dengan konsep dan prinsip compact city atau pendekatan kompaksi perkotaan (urban compaction) yang diyakini di negara-negara maju mencerminkan kota yang berkelanjutan. Namun dalam konteks negara berkembang, debat mengenai pengembangan compact city adalah sejauhmana konsep tersebut dapat diterapkan padahal kota-kota di negara berkembang kondisinya jauh berbeda dengan di negara maju,  sebagai manifestasi proses urbanisasi dan perkembangan perkotaan yang berbeda pula.

Kajian empirik yang menyangkut relevansi penerapan kompaksi perkotaan di Indonesia dalam kaitannya dengan aspek keberlanjutan perkotan dapat dikatakan belum pernah dilakukan secara khusus. Dalam kondisi seperti itu, perumusan kebijakan yang menyangkut rencana struktur dan pola ruang kota yang sebagian telah mengarah pada penerapan konsep compact city, seperti banyak dilakukan dalam perencanaan pembangunan perkotaan,  sebenarnya cenderung bersifat spekulatif karena tidak/ belum didukung hasil kajian empirik yang memadai. Dalam hal ini pemahaman terhadap relevansi kompaksi perkotaan untuk diterapkan serta potensi dan kendala penerapannya  belum menjadi landasan bagi pengembangan kebijakan perencanaan tata ruang kota.

Dalam konteks di atas, yang menjadi persoalan dalam pekerjaan ini adalah belum adanya kajian empirik tentang kompaksi perkotaan sebagai struktur dan pola ruang kawasan perkotaan berkelanjutan yang didasarkan pada keterkaitan antara bentuk perkotaan (urban form) dengan keberlanjutannya  secara ekonomi, sosial dan lingkungan.

Secara konseptual, kompaksi perkotaan (urban compaction) merupakan alternatif atau strategi untuk mewujudkan stuktur dan pola ruang kawasan perkotaan yang berkelanjutan. Penerapannya dalam konteks pertumbuhan fisik/ kawasan terbangun saat ini di berbagai kota besar atau Kawasan Pertumbuhan Perkotaan yang cenderung ekspansif dengan pola sprawl yang tidak terkendali, mempunyai potensi untuk untuk mengurangi ecological footprint, terutama yang disebabkan oleh  segregasi spasial berbagai aktivitas perkotaan dan implikasinya terhadap kebutuhan transportasi. Sasaran kompaksi perkotaan adalah:

  1. Minimasi/reduksi footprint kota
  2. Perlindungan terhadap penyusutan lahan pertanian
  3. Peningkatan penggunaan transportasi umum
  4. Peningkatan efisiensi kawasan perkotaan
  5. Pengurangan ketidakseimbangan perkembangan kawasan di pusat dan kawasan perumahan di pinggiran kota.

Pola Keruangan Desa

 

 

A. Desa (Rural)

1. Pengertian Desa (Rural)

Desa dalam arti umum adalah permukiman manusia yang letaknya di luar kota dan penduduknya berpangku pada jiwa agraris. Banyak yang berpendapat mengenai definisi desa, yaitu:

– Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1979 Tentang pemerintah daerah, Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia.

– Menurut Bintarto (1977), Desa adalah perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur geografis, sosial, ekonomis, politis, dan kultural yang ada disitu, dalam hubungannya dengan pengaruh timbal balik dengan daerah-daerah lainnya.

2. Unsur-unsur Desa (Rural)

a. Wilayah (Geographical Setting)

Unsur wilayah ini meliputi :

– Lokasi, yaitu kedudukan relatif terhadap desa-desa yang lain, yang biasanya lokasinya strategis dan datar, tidak hanya dalam administrasi saja.

– Luas desa, yaitu apabila desa tersebut memiliki wilayah yang luas maka daerah tersebut dapat diolah sehingga mampu memperbaiki pendapatan penduduk. Jika pendapatan tinggi maka tingkat kemakmuran penduduk juga meningkat dan pembangunan desa juga makin optimal.

– Keadaan tanah, yaitu keadaan tanah akan mempengaruhi hasil pertanian.

– Keadaan iklim, yaitu iklim mempengaruhi pertanian.

– Keadaan bentang alam, yaitu sebagian besar desa yang maju berada pada daerah yang datar.

b. Penduduk (Human Effort)

– Komposisi penduduk, yaitu meliputi umur, jenis kelamin, dan angkatan kerja.

– Tingkat pendidikan, tingkat pendidikan ini biasanya dapat diukur melalui pendidikan formal yang ditempuh oleh penduduk.

– Kondisi kesehatan masyarakat, dapat dilihat dari ketersediaan air bersih.

c. Tata Kehidupan Masyarakat

– Organisasi masyarakat

– Adat istiadat

– Swadaya masyarakat

 

3. Persebaran Desa (Rural)

Persebaran desa artinya menggerombolnya ataupun saling menjauhinya antara desa yang satu dengan desa yang lainnya. Persebaran desa ini biasanya dipengaruhi oleh kondisi geografisnya. Hal tersebut juga berlatar belakang fasilitas iklim dalam hubungannya dengan ketinggian tempat. Adapun yang mengenai pentingnya air untuk irigasi, perikanan, peternakan dan sebagainya.

 

4. Ciri-ciri Desa (Rural)

Menurut Ditjen Bangdes (pembangunan desa), ciri-ciri wilayah desa antara lain :

– Perbandingan lahan dengan manusia (man-land ratio) cukup besar

– Lapangan kerja yang dominan agraris

– Hubungan antar warga desa amat akrab

– Tradisi lama masih berlaku

 

5. Bentuk dan Pola Desa (Rural)

Menurut Prof. Bintarto pola perkembangan desa ada tiga, yaitu:

– Pola memanjang, ditandai dengan alur perkembangan mengikuti alur perkembangan alur jalan atau sungai

– Pola radial atau melingkar, ditandai perkembangan desa mengelilingi fasilitas tertentu misalnya sumber air

– Pola tersebar, apabila desa terletak pada daerah perbukitan atau pegunungan

Daftar Rujukan :
Bintarto.1989. Interaksi Desa-Kota. Jakarta: Ghalia Indonesia
Daldjoeni, N., 2003. Geografi Kota Dan Desa. Bandung: P. T. Alumni